Mereka Pandai Bicara, Tapi Gagap Mendengar
5 jam lalu
Dari hukum yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, hingga demokrasi yang sibuk menjaga citra tanpa substansi.
Di negeri ini, retorika lebih cepat menyebar daripada solusi. Pemerintah bicara soal pembangunan, rakyat bicara soal bertahan hidup. Lembaga hukum bicara soal keadilan, tapi rakyat tahu siapa yang benar-benar bisa membeli putusan. Kita hidup dalam republik kata-kata, tapi miskin ruang untuk mendengar suara yang tak punya panggung.
Pasal-pasal hukum kita tegas di atas kertas, tapi lentur di lapangan. Seorang aktivis bisa dipenjara karena menyuarakan keresahan, sementara koruptor bisa tersenyum di balik jas mahal dan konferensi pers. Kita punya KUHP baru, tapi tak punya keberanian untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
Laporan ICW menunjukkan bahwa vonis korupsi di Indonesia rata-rata hanya 2 tahun penjara. Bandingkan dengan vonis terhadap pencuri ayam atau sandal yang bisa mencapai 5 tahun.
Pemilu datang seperti festival. Spanduk, baliho, dan janji berserakan di jalanan. Tapi setelah suara dihitung, rakyat kembali jadi penonton. Partai politik sibuk berkoalisi, bukan berideologi. Kandidat dipilih karena elektabilitas, bukan karena gagasan.
Kita punya banyak kata: “transformasi,” “inovasi,” “digitalisasi,” “merdeka belajar.” Tapi di balik kata-kata itu, banyak yang tak tahu apa yang sebenarnya berubah. Bahasa birokrasi dipakai untuk membungkus stagnasi. Kata-kata besar jadi selimut bagi kenyataan yang tak nyaman.
Sastra mengajarkan bahwa bahasa bisa membebaskan. Tapi di negara ini, bahasa lebih sering dipakai untuk membingungkan. Kita diajarkan membaca, tapi tidak diajarkan memahami.

Penulis Indonesiana
1 Pengikut

Mereka Pandai Bicara, Tapi Gagap Mendengar
5 jam laluBaca Juga
Artikel Terpopuler